Halaman

Selasa, 29 November 2011

Tugas Puisi

bener-bener deh. Padahal dua jam lagi praktikum dan gue baru mulai ngerjain raker.
fuuh...

kemarin FLP dikasih tugas bikin puisi dengan menggunakan analogi sederhana untuk suatu kejadian yang "besar". katanya, "memasukkan yang besar ke dalam yang kecil".
gue udah nyoba buat 4 puisi, dan yang dua gue ga bisa lanjutinnya. yang satu emang ga sesuai ama tema, cuma hobi gue aja, refreshing biar dapet ide. Judulnya Ironi. Yang satu lagi malah dapet analoginya "Kupu Kupu Hitam".
nah, yang ga beres ini gue bingung. analoginya udah dapet, tapi kata-kata buat disusunnya itu yang gue ga dapet. mana mungkin gue bikin puisi gantung banget. Huwaaa... semoga cepet dapet ide buat yang dua itu. Emang gak terlalu gue banget sih, tapi makanya gue pengen nyoba buat sesuatu yang ga biasa gue buat.

Selasa, 15 November 2011

Syukur

Terima Kasih Allah,
untuk rangkai waktu yang menyenangkan ini
untuk senyum yang semakin mengembang sejak malam tadi.
^^

Senin, 14 November 2011

Sebuah Kesadaran

"beramallah walau lelah, beramallah walau jenuh, beramallah walau merasa sakit?"

mengapa anda harus totalitas dalam dakwah ini?
sebuah pertanyaan yang disampaikan pada Daurah Itsbat 47 LDK Al-hurriyah pagi kemarin ini. Andailah boleh aku ingin tak menjawabnya. Tapi, karena ini wajib akhirnya aku menjawabnya juga. Ada yang meringis di dalam sini, mungkin sedikit kesadaran yang masih tersisa. Tersindir oleh jawaban sendiri.

Sebab sesuatu yang dikerjakan tanpa totalitas tak akan menghasilkan output yang maksimal pula. Kepercayaan masyarakat akan tumbuh dengan sendirinya apabila para pelaku dakwah memiliki totalitas dalam mengemban amanahnya.

apakah saya sudah cukup memiliki totalitas dalam dakwah ini? Jauh di lubuk hati, ah, tak terlalu jauh sebenarnya. Jawabannya tidak. Rasa lelah itu sering muncul. Bukan lelah karena merasa terlalu banyak amanah. Bukan jenuh karena amanah yang mengantri untuk diselesaikan, bukan sakit karena dicaci sebab memikul amanah ini.

Dan, saat si kakak mengatakan, "bagaimana mungkin amal jama'i bisa terwujud jika para pelaku dakwahnya memiliki banyak masalah internal yang menunggu untuk diselesaikan"

Lalu, saya berkata dalam hati, "bagaimana kamu bisa merasa cukup pantas berada di sana sementara amalan kamu kacau, dan diri kamu masih belum cukup dewasa dalam menyikapi diri kamu sendiri?"

Hey, menyadari sebuah kelemahan itu adalah hal yang menyebalkan. Sakit. Tapi mungkin hati aku memang tengah butuh rawat inap.

Ya Allah, kesadaran itu bukan untuk membuat kita mengalirkan air mata. Tapi untuk membuat kita tahu bagaimana meneruskan langkah.

Minggu, 13 November 2011

Sayang dengar, kadang kita tak mampu mengungkapkan apa yang ada dalam hati kita. bukan karena tak ada kata yang dapat mewakili. hanya saja kadang alasan yang dirasa, terlalu sederhana dan khawatir mengada-ngada.

seperti kisah anak sungai dan pohon kering. meski tahu bahwa air ingin ia tak lagi kering, pohon kering itu tak dapat berkata bahwa ia ingin lebih, tak sekedar air semata. ada hal yang ia ingin raih sendiri, mungkin sinar matahari, mungkin pula angin yang kadang membawa oksigen atau karbon dioksida.

seperti pohon kering, ia tak ingin menyalahkan air sungai atau alirannya. hanya saja ia berfikir bahwa air sungai sama sekali tak salah. begitupun sekitarnya. ia hanya ingin mencari cara untuk bisa tumbuh lebih tinggi lagi, sudah itu berbuah.

Jika sudah berbuah, pohon kering itu ingin sungai bisa menikmatinya.
Tapi pohon kering hanya takut tak bisa mewujudkan. bukan, pohon kering takut mimpinya tak sebanding pengorbanan yang diberikan air sungai. maka ia diam. dan hanya diam.

Ia hanya tak tahu cara berbicara. ia hanya tak mampu menahan rasa sayangnya. ia hanya terlalu menyanyanginya, hingga khawatir itu muncul melebihi kadar yang seharusnya.

"Cobalah Terbuka," katanya

Semalam, seorang teman bilang, “sebenernya aku tahu kenapa kamu tiba-tiba begitu. Ga ada orang yang nangis tanpa sebab.” Katanya, dengan tampang tak acuh. Ini sama, aku ingat seseorang pernah mengatakan hal yang sama, dulu. Entah kapan, entah siapa.

“Jangan terlalu tertutup.” Katanya lagi.

Entahlah, aku memang bersembunyi. Ada banyak dialog, berbantah-bantah di dalam sini. Tanpa ada yang tahu. Aku menyimpannya. Berbicara itu sedikit menyebalkan. Sulit. Kau tahu? Kadang kita tak bisa berhenti sejenak untuk berfikir apakah itu memang benar seperti itu adanya, atau terlalu dibesar-besarkan saja. Berbicara itu melibatkan terlalu banyak emosi. Aku sulit berhenti untuk sebentar mengendapkan rasa. Atau yang terjadi malah sebaliknya. Aku berbicara benar-benar tentang yang sebenarnya, lalu bibirku kelu. Aku menggigil, mengakui kelemahan itu sulit. Kau tahu?

Makanya, seringkali aku lebih memilih menulis untuk jujur. Aku bisa berhenti sejenak untuk berfikir apa yang memang sungguhan terasa di dalam sini. Lalu menghapusnya kalau rasanya terlalu dibesar-besarkan. Aku bisa menangis selama yang kumau sebelum kembali menulis, tanpa merasa akan ada orang yang kucuri waktunya. Tanpa khawatir ada yang menungguku menyatakan rasa, sambil cemas memikirkan jadwal selanjutnya. Menulis itu membuatku lebih objektif memandang sesuatu. Aku bisa berhenti sebentar untuk menyusun kata-kata. Aku bisa bertanya sejenak pada diri sendiri. Aku bisa mengungkapkan, tanpa ada interupsi. Tanpa perlu mendengar intonasi. Tanpa ada airmata yang terlihat jatuh ke pipi.

Aku ingin melukiskan senyum dalam tulisanku, meskipun nyatanya, itu hal yang tak mudah untuk kulakukan dengan ekspresi. Kalau aku kesal, atau tersinggung sedikit saja. Ada airmata yang tiba-tiba melesak-lesak minta keluar. Aku malu hal itu terlihat. Aku sulit mengukir senyum kalau itu terjadi. Toh kalau aku bisa tersenyum, tersenyum sambil mengalirkan air mata luka itu ga akan terlihat kuat. Itu memalukan. Lewat tulisan aku bisa belajar melahirkan pelangi. Aku bisa membuat seolah-olah ada mentari yang bersinar setelah hujan, setelah gerimis. Aku bisa membuat seolah ada cahaya yang menyeruak setelah gelap hadir. Tak kan ada yang tahu apakah aku masih menangis atau sudah tersenyum. Aku bahkan bisa hanya menuliskan pemecahan dari luka yang aku rasakan. Tanpa menuliskan permasalahannya. Aku bisa menyembunyikan airmataku lewat tulisan. Di saat yang sama, aku bisa berjalan sambil terus berusaha untuk menjadi lebih kuat lagi.

Sabtu, 12 November 2011

Cuma Sekedar Curhat Kecil

Daripada menjadi mentari, aku kadang berfikir untuk menjadi gerimis. Titik-titik hujan yang merefleksikan cahaya matahari menjadi lebih banyak warna. Kau tahu, itu indah.

Aku kadang berfikir, setiap orang memiliki kapasitasnya masing-masing. Ya, aku tahu. Kadang aku juga berfikir, mungkin kapasitasku ada di bawah yang lainnya. Sedih juga menerima fakta seperti itu begitu saja. Tapi aku tak pernah mengintip buku takdir barang sekalipun. Jadi, untuk apa menerimanya begitu saja? Aku ingin, meskipun aku memiliki kecerdasan emosi yang tak setinggi mereka, atau intelektual yang tak setinggi mereka, bahkan untuk saat ini kecerdasan spiritualkupun tak jua melampaui mereka. Lalu apa yang bisa dibanggakan? Ya, masalahnya adalah apa yang bisa “dibanggakan”? Apa karakter unggulan yang akan kubangun? Sambil berfikir begitu aku terus berjalan. Tapi kemudian, sebuah film mengingatkanku “daripada terus berfikir tentang apa yang menjadi kelebihanmu, lebih baik menjalani apa saja yang mau kau lakukan. Sudah itu, dengan sendirinya kelebihan itu akan muncul”.

Aku mungkin tak seterang mentari. Tapi, aku ingin bisa merefleksikan cahaya putihnya menjadi lebih dari tujuh warna. Aku mungkin memang tak seindah pelangi yang tampak setelah gerimis petang, tapi setidaknya aku ingin membuat pelangi itu, aku ingin bisa menghadirkan pelangi itu. Meskipun memang, aku tak memiliki cahaya seterang cahaya matahari.

Dengan cara apa? Hal itu tentu saja aku belum tahu. Mungkin setidaknya, yah, setidaknya. Aku akan belajar ceria. Aku akan belajar untuk tampak kuat, kalau belum bisa menjadi kuat seutuhnya. Aku akan berhenti mengenal rasa “tak suka”, apalagi “marah”. Aku mau mendidik semua rasa itu biar hanya aku yang tahu, meski sulit. Sambil melatih itu semua, aku juga akan belajar maju. Aku tahu langkah kecil saja tak akan cukup. Tapi lompatan besar akan menghadirkan banyak suara. Aku takut kalau aku masih belum cukup kuat untuk menghadapi suara-suara, atau bahkan justru takut aku akan merasa hilang kalau tidak ada suara yang muncul.

Kalau aku boleh berharap. Aku ingin memiliki satu syurga kecil. Kecil saja, tak perlu terlalu besar agar aku bisa menghilang. Hilang dari pandangan orang-orang. Aku ingin memiliki satu taman kecilku, dimana hanya ada aku dan suara-suara yang menenangkan hati. Dimana hanya ada aku, dan diriku, lalu aku. Disitu aku bisa puas melihat hal yang kusuka, berbuat yang kumau, mendengar hal-hal yang positif saja. Aku bisa berdialog dengan aku saja. Lalu bermetamorfosa tanpa khawatir menjadi terlihat atau malah hilang. Ini harapan yang penuh keegoisan untuk menjadi baik di tempat yang baik. Aku tahu ini tak seharusnya ada dalam fikirku. Tapi, semakin harapan ini ingin dihilangkan, ia malah semakin dibutuhkan. Jadi biarlah, setidaknya aku merasa sedikit berada disana saat aku menggambarkannya dalam tulisan.

Karena RUNA adalah “Rune” atau sihir dan AVIENA adalah “Afina” yang bermanfaat. Itulah, aku harus bisa menjadi seorang yang pantas menjadi baik “Qothrunnada” maupun “Runa Aviena”. Menjadi embun yang menyejukkan hati, dan menghasilkan sesuatu yang dapat menciptakan ‘sihir-sihir’ kecil yang memberi manfaat pada orang lain.
Meskipun Shakespeare dalam karyanya menngatakan “Apalah arti sebuah nama”, tapi Rasul berkata bahwa “nama adalah sebuah do’a”. Dan semoga do’a ini dapat terwujud. Bukan “suatu hari”, tapi “as soon as possible”.

.I’m not exactly lonely, maybe.

Rabu, 09 November 2011

aku tahu ini berbahaya. Perlahan aku malah semakin ingin melihat dirinya. Bukan ia yg biasa tampak, tp aku ingin bisa melihat sisi lain dirinya yg tak ia perlihatkan pada yg lain.
Kau tahu, ia biasa saja. Hanya senyumnya yg tampak begitu kuat. Ia biasa saja. Hanya jam terbangnya yg tinggi begitu menarik. Ia biasa saja. Hanya energi positifnya membuatku bertanya : apa lelah telah lelah melelahkannya?
Tentang dia aku hanya bisa melakukan hal yg bisa kulakukan tnpa menyatakan atau memberinya sinyal tentang rasa ini.